Ada masa di mana aku merasa harus kuat setiap waktu. Harus tangguh, tegas, bahkan sedikit keras agar tidak diremehkan. Aku berbicara cepat, tertawa lepas, menyembunyikan hal-hal lembut dalam diriku, seolah sisi feminin adalah kelemahan yang harus disembunyikan. Aku mengenakan warna hitam hampir setiap hari — aman, netral, tak menarik perhatian.
Tapi semakin lama, aku mulai merasa lelah.
Ada bagian dalam diriku yang ingin tenang, ingin lembut, ingin terlihat apa adanya. Aku sadar, mungkin selama ini aku bukan tidak bisa menjadi diriku, hanya saja aku terlalu sibuk menyesuaikan diri dengan dunia yang terasa terlalu bising.
🌿 Tentang Warna, dan Keberanian untuk Terlihat
Semua perubahan dimulai dari hal sederhana: aku mengganti warna bajuku.
Dulu hanya hitam — sekarang aku mulai berani memakai warna lembut, bahkan motif bunga kecil yang dulu kuanggap terlalu “girly”. Anehnya, setiap kali aku memakainya, aku merasa lebih hidup. Aku merasa seperti diriku sendiri, versi yang lama sekali kutinggalkan.
Aku mulai sadar bahwa warna bukan sekadar kain di tubuh, tapi cermin suasana hati. Warna bisa membawa energi baru. Dan di antara warna-warna itu, aku menemukan sesuatu yang selama ini aku cari: kedamaian.
☀️ Yoga, Pernafasan, dan Ketulusan yang Datang dari Dalam
Yoga jadi salah satu tempatku pulang.
Bukan sekadar olahraga, tapi ruang kecil untuk mengenal tubuhku sendiri — setiap tarikan napas, setiap rasa sakit yang perlahan melunak. Di sana aku belajar menerima diriku apa adanya. Aku bertemu banyak perempuan cantik — bukan hanya dari luar, tapi dari aura tenangnya. Mereka lembut, tapi kuat. Dan aku ingin menjadi seperti itu: lembut tanpa kehilangan arah, kuat tanpa harus keras.
Dari yoga aku belajar: keindahan tidak selalu berarti sempurna. Kadang keindahan justru muncul dari ketidakseimbangan yang perlahan kita pelajari untuk diterima.
🍰 Dapur, Tulisan, dan Hal-Hal Kecil yang Menyembuhkan
Aku selalu merasa damai di dapur.
Memasak dan membuat kue jadi semacam terapi. Suara pengaduk, aroma mentega, dan adonan yang perlahan berubah bentuk membuatku merasa terkoneksi lagi dengan hidup. Di sana aku bisa menciptakan kebahagiaan kecil yang sederhana, sesuatu yang bisa kubagi dengan orang lain.
Menulis juga begitu.
Setiap kali aku menulis, rasanya seperti berbicara dengan diri sendiri — jujur, tanpa topeng. Aku menulis bukan untuk didengar, tapi untuk memahami. Dari tulisan-tulisan itu, aku sadar ternyata aku punya banyak hal yang belum sempat kuceritakan, bahkan pada diriku sendiri.
🌼 Belajar Menerima dan Tidak Terburu-Buru
Akhir-akhir ini, aku merasa lebih tenang.
Bukan karena semuanya baik-baik saja, tapi karena aku mulai bisa menerima bahwa tidak semua harus cepat selesai. Tidak semua harus terlihat sempurna. Ada hari di mana aku masih merasa kurang cantik, masih merasa berbeda, masih menanyakan “kenapa aku belum seperti mereka.”
Tapi bedanya, sekarang aku tidak menghakimi perasaan itu. Aku belajar menenangkan diri, bukan menolak rasa sepi. Aku memberi ruang untuk diriku tumbuh pelan-pelan.
Kadang aku masih insecure dengan kulit sawo matangku. Aku ingat dulu sempat merasa tidak cukup karena lingkungan menganggap warna kulit terang lebih cantik. Tapi sekarang aku melihat diriku di cermin dan berkata, “Aku indah dengan caraku sendiri.” Aku tidak ingin lagi membandingkan, karena aku sudah cukup.
🌷 Tentang Cinta, dan Orang-Orang yang Menyadarkan
Lucunya, perjalanan ini juga dibantu oleh seseorang dari masa laluku.
Bukan dalam arti romantis, tapi lebih ke cara dia tanpa sadar memantulkan hal-hal yang selama ini aku sembunyikan. Lewat tawa, candaan, dan percakapan ringan, aku mulai mengenali lagi sisi diriku yang polos, spontan, dan penuh tawa. Aku jadi sadar, aku bisa menjadi lembut dan ringan tanpa kehilangan arah.
Mungkin memang tidak semua orang hadir untuk dimiliki.
Beberapa hanya datang untuk mengingatkan bahwa kita masih bisa merasa. Dan bagiku, itu cukup berarti.
💫 Aku yang Baru, Tapi Masih Aku
Sekarang, aku tidak ingin menutupi siapa diriku.
Aku masih nyablak kadang, masih tertawa keras, tapi kini aku tahu kapan harus diam dan mendengarkan. Aku masih senang bercanda, tapi juga tahu kapan harus menjaga kata. Aku lebih memperhatikan cara berbicara, cara berjalan, cara menatap — bukan untuk jadi orang lain, tapi agar lebih selaras dengan diriku yang sebenarnya.
Aku suka menjadi feminin.
Suka merawat diri, memakai parfum lembut, yoga di pagi hari, menulis di malam hari. Aku suka menjadi perempuan yang tenang tapi tetap punya nyala.
Kini, aku tak ingin lagi bersembunyi di balik warna hitam atau suara keras. Aku ingin hidup dengan warna, dengan keheningan, dan dengan keyakinan bahwa menjadi lembut tidak membuatku lemah.
Karena ternyata, menjadi perempuan bukan soal bagaimana dunia melihatku, tapi bagaimana aku melihat diriku sendiri.
Aku tidak ingin menjadi sempurna. Aku hanya ingin jadi diri sendiri — dengan segala luka, tawa, dan ketenangan yang akhirnya kutemukan.



Tidak ada komentar