Belajar Fudgy Brownies dan Menemukan Rasa Baru dalam Proses

Sudah cukup lama sebenarnya aku tertarik dengan dunia baking.
Aku sering kali mencoba resep-resep brownies dari internet, bereksperimen dengan bahan yang ada di rumah, dan memotret hasilnya dengan bangga meski kadang hasil akhirnya tidak selalu sesuai harapan.
Setiap kali memanggang, ada momen di mana aku merasa bahagia — aroma cokelat yang menyebar ke seluruh ruangan, bunyi oven yang berdetak pelan, dan rasa deg-degan menunggu hasil akhirnya keluar. Tapi entah kenapa, di balik semua itu, selalu ada perasaan “kurang srek.”
Seperti ada sesuatu yang belum pas — entah dari tekstur, rasa, atau mungkin teknik yang kulakukan.

Sampai akhirnya, kemarin, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda.
Aku ikut kelas hands-on baking pertamaku — kelas khusus membuat fudgy brownies.
Keputusan yang mungkin sederhana bagi orang lain, tapi buatku, itu langkah kecil yang berarti banget.
Aku ingin belajar dari ahlinya, bukan sekadar membaca resep atau menonton video. Aku ingin tahu, di mana sebenarnya letak kesalahanku selama ini.

Kelas itu dipandu oleh Kak Dian, seorang baker yang sudah lebih dari sepuluh tahun berkecimpung di dunia baking profesional.
Dari awal pertemuan, aku langsung bisa merasakan bahwa kelas ini bukan hanya soal resep — tapi tentang pengalaman, cerita, dan cara berpikir seorang baker sejati.
Kak Dian bukan tipe guru yang hanya menyuruh kita mengikuti langkah-langkah secara kaku. Ia menjelaskan setiap proses dengan alasan di baliknya.
Seperti kenapa mentega harus dicairkan pada suhu tertentu, kenapa cokelat lebih baik dicampur perlahan, dan kenapa tekstur adonan harus dijaga supaya tidak terlalu kering.


Dari penjelasan itu saja, aku sudah merasa seperti membuka bab baru dalam perjalanan baking-ku.
Aku menyadari ternyata selama ini aku terlalu terburu-buru. Aku sering ingin cepat melihat hasil tanpa benar-benar memahami prosesnya.
Padahal, dunia baking itu mirip seperti hidup — butuh kesabaran, perhatian, dan sentuhan hati.

Yang menarik, selama kelas berlangsung, obrolan kami tidak hanya seputar brownies.
Kak Dian bercerita banyak tentang bagaimana dunia baking di Makassar berkembang pesat beberapa tahun terakhir.
Tentang bagaimana pasar kuliner sekarang tidak hanya menuntut rasa yang enak, tapi juga tampilan yang menggugah dan konsep yang kuat.
Kami membahas juga bagaimana pentingnya memahami target pasar, menjaga kualitas produk, dan membangun ciri khas agar brand bisa dikenal.

Dan dari situ, aku mulai berpikir ulang tentang arah Millyeats, brand kecil yang selama ini aku bangun dari rumah.
Awalnya aku selalu punya impian untuk membuka toko kue — punya tempat sendiri yang bisa orang kunjungi, dengan aroma roti dan kue yang hangat.
Tapi belakangan, aku mulai sadar bahwa mungkin bukan itu arah yang benar untukku sekarang.
Mungkin aku lebih cocok membangun baking studio — tempat di mana aku bisa berkreasi, belajar, berbagi ilmu, dan menciptakan produk yang benar-benar mencerminkan diriku.

Kelas brownies ini seolah mengetuk pikiranku.
Aku melihat bahwa dunia baking bukan sekadar soal menjual makanan manis, tapi tentang membangun rasa dan makna.
Bahwa bisnis yang kuat bukan hanya karena modal besar, tapi karena ada cerita dan nilai yang tulus di baliknya.
Dan di titik itu, aku merasa semangatku seperti menyala kembali.

Selama proses kelas, suasananya terasa akrab dan menyenangkan.
Aku duduk satu meja dengan peserta lain, salah satunya bernama Geo, yang ternyata juga baru pertama kali ikut kelas baking.
Kami cepat akrab karena sama-sama gugup tapi bersemangat.
Ada momen lucu waktu cokelat yang kami cairkan terlalu cepat sampai agak menggumpal, dan kami berdua saling tertawa panik tapi tetap mencoba memperbaikinya.
Suasana seperti itu membuat proses belajar jadi lebih hangat, seperti sedang baking bersama teman lama.

Saat hasil brownies kami keluar dari oven, aroma cokelat yang pekat langsung memenuhi ruangan.
Kak Dian memotong satu loyang dan memperlihatkan teksturnya: lembap, fudgy, sedikit chewy di tengah tapi renyah di tepi.
Aku mencoba satu potong — dan rasanya luar biasa.
Untuk pertama kalinya aku merasa puas dengan brownies buatanku.
Bukan hanya karena rasanya enak, tapi karena aku tahu kenapa rasanya bisa enak.
Aku tahu setiap langkah yang kulakukan memiliki alasan.

Dalam perjalanan pulang, aku terus memikirkan semua hal yang terjadi hari itu.
Bukan hanya teknik baru yang kupelajari, tapi juga arah hidup yang mulai terasa lebih jelas.
Aku jadi paham bahwa setiap usaha butuh waktu dan kesabaran.
Aku tidak harus langsung punya toko besar untuk bisa disebut “berhasil.”
Yang penting adalah aku terus belajar, berproses, dan menjaga api semangat itu tetap menyala.

Kak Dian sempat berkata sesuatu yang terus teringat di kepalaku,

“Kalau kamu mencintai prosesnya, hasilnya akan mengikuti. Tapi kalau kamu cuma kejar hasil, kamu bisa kehilangan cintanya.”

Kalimat itu sederhana tapi dalam banget.
Mungkin itulah yang selama ini kurang dalam perjalananku — mencintai prosesnya, bukan hanya mengejar hasil akhir yang sempurna.
Dan sekarang aku tahu, setiap kali aku mengaduk adonan, menimbang bahan, atau menunggu oven berbunyi, aku sedang menjalani proses yang akan membentukku sebagai baker yang lebih baik.

Dari kelas sederhana itu, aku juga belajar tentang makna berbagi.
Bahwa baking bukan hanya soal membuat makanan manis untuk dijual, tapi tentang menciptakan kebahagiaan kecil untuk orang lain.
Entah lewat rasa cokelat yang lembut, tampilan kue yang cantik, atau sekadar aroma manis yang membuat orang tersenyum.

Aku ingin Millyeats membawa hal itu — bukan hanya menjual makanan, tapi membagikan perasaan hangat dan ketulusan di setiap gigitan.
Dan mungkin, itu juga alasan kenapa aku belum siap punya toko.
Bukan karena aku tidak mampu, tapi karena konsepnya belum matang.
Aku ingin ketika Millyeats benar-benar berdiri, ia punya jiwa dan cerita yang kuat.

Untuk sekarang, aku ingin terus belajar.
Aku ingin ikut lebih banyak kelas, bereksperimen dengan menu baru, dan terus mengeksplor rasa yang bisa jadi ciri khas Millyeats.
Mungkin butuh waktu beberapa tahun untuk sampai ke sana, tapi aku tidak terburu-buru.
Aku ingin proses ini berjalan alami, penuh cinta, dan tetap menyenangkan.

Dan siapa sangka, semua kesadaran ini berawal dari sebuah kelas kecil membuat brownies.
Ternyata terkadang hal sederhana bisa membuka banyak hal besar di kepala dan hati kita.

Aku pulang dari kelas itu dengan brownies di tangan, tapi membawa sesuatu yang jauh lebih berharga di hati:
rasa tenang, arah baru, dan keyakinan bahwa aku sedang berjalan di jalanku sendiri. 🌷🍫

🍓 Catatan kecil dari dapur Millyeats.
Tempat di mana aku belajar bahwa setiap adonan punya cerita,
dan setiap rasa adalah proses untuk mengenal diri sendiri sedikit lebih dalam.


Tidak ada komentar