(Seri Perjalanan 2025 – Bagian tentang Bertumbuh Tanpa Banyak Suara)
Tidak semua perjalanan penting dalam hidup dimulai dari mimpi besar atau rencana matang.
Sebagian justru datang diam-diam, di waktu yang tidak ideal, saat kita sedang sibuk menguatkan diri sendiri dan orang-orang yang kita cintai.
Pengalamanku menjadi assistant baker adalah salah satunya.
Kesempatan yang Datang Tanpa Ambisi
Semuanya bermula dari kelas baking brownies bersama Kak Dian. Aku datang sebagai peserta biasa—tanpa ambisi besar, tanpa bayangan jauh ke depan. Tujuanku sederhana: belajar, mencatat, lalu pulang membawa ilmu yang bisa aku kembangkan sendiri.
Di sela kelas, Kak Dian sempat menyebutkan kemungkinan sebuah kesempatan: membantu di kelas lain sebagai assistant baker. Tidak ada tanggal pasti. Tidak ada detail jelas. Aku menyimpannya begitu saja, tanpa ekspektasi apa pun.
Saat itu, dunia baking yang aku jalani masih sangat personal. Aku bereksperimen di dapur kecil, belajar membangun branding, membuat konten, dan mencoba memahami ritme langkahku sendiri. Menjadi assistant baker tidak pernah ada di dalam rencanaku.
Lalu Desember datang, membawa cerita yang sama sekali berbeda.
Ketika Kesempatan Bertemu Tanggung Jawab
Di bulan itu, mamaku harus masuk rumah sakit untuk pemeriksaan lanjutan dan menjalani bed rest selama seminggu penuh. Fokusku berubah seketika. Tidak ada yang lebih penting selain memastikan beliau baik-baik saja.
Di tengah situasi itu, tawaran menjadi assistant baker datang kembali—kali ini nyata dan jelas. Dan aku bimbang.
Bukan karena aku tidak ingin berkembang, tetapi karena aku takut salah memilih. Takut terlihat egois. Takut menyesal, apa pun keputusan yang aku ambil.
Aku belajar bahwa kedewasaan tidak selalu terlihat dari seberapa cepat kita mengambil kesempatan, tapi dari kemampuan menunggu dan memastikan. Aku berbicara dengan mama. Aku meminta izin. Aku memastikan keadaannya memungkinkan. Setelah semuanya jelas dan mama mengizinkanku, barulah aku berani berkata ya.
Keputusan itu tidak diambil dengan euforia, melainkan dengan ketenangan.
Datang Tanpa Persiapan
Sejujurnya, aku datang ke pengalaman ini tanpa persiapan apa pun. Tidak ada latihan public speaking. Tidak ada bayangan jelas tentang peranku. Yang ada hanya satu niat sederhana: mencoba pengalaman baru dan belajar.
Public speaking-ku masih payah—dan aku tahu itu. Tapi justru di situlah aku ingin melatih diriku.
Hari itu, aku berada di sebuah gedung dengan ruangan yang cukup besar. Berdiri di hadapan sekitar 40 orang. Berada di lingkungan kerja yang lebih profesional dari yang biasa aku jalani.
Rasanya campur aduk: gugup, takut salah, kaget, tapi juga bersyukur.
Belajar dari Balik Layar
Sebagai assistant baker, aku tidak berada di tengah panggung. Tapi justru dari balik layar, aku belajar paling banyak.
Aku belajar resep chiffon cake dan teknik dekorasi bento cake. Tapi yang jauh lebih berharga adalah pelajaran yang tidak tertulis.
Aku memperhatikan bagaimana sebuah kelas dibangun:
-
persiapan sebelum kelas dimulai
-
cara materi disampaikan
-
ritme kelas agar tetap hidup
-
cara menghadapi peserta dengan latar belakang berbeda
-
pembagian peran dan tanggung jawab
Aku membantu menyiapkan alat dan bahan, membagikan cream dekorasi, mendokumentasikan kegiatan, dan memastikan kebutuhan peserta terpenuhi. Hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian, tapi sangat menentukan kelancaran sebuah kelas.
Di situ aku menyadari: mengajar bukan hanya tentang kemampuan teknis, tapi tentang sistem, empati, dan komunikasi.
Berdiri di Ruang yang Tidak Pernah Kurencanakan
Ada satu momen yang paling terasa: menyadari bahwa aku berada di depan 40 orang—bukan sebagai murid, tapi sebagai bagian dari tim pengajar.
Ini bukan mimpi yang pernah aku tulis. Tapi ternyata aku bisa berdiri di sana. Dengan segala kekurangan dan kegugupanku.
Pengalaman ini tidak membuatku langsung percaya diri sepenuhnya. Tapi ia menanamkan keyakinan kecil: bahwa aku bisa belajar berada di ruang yang lebih besar dari yang selama ini aku bayangkan.
Pulang dengan Lebih dari Sekadar Resep
Aku pulang membawa resep chiffon cake dan teknik dekorasi baru. Tapi yang paling terasa adalah perubahan di dalam diriku.
Aku pulang dengan perspektif baru tentang dunia baking profesional. Tentang bagaimana ilmu dibagikan. Tentang bagaimana sebuah kelas dibangun. Dan tentang potensi diriku sendiri.
Ucapan Kak Dian—tentang kemungkinan suatu hari aku punya kelas baking sendiri—tidak membuatku langsung berambisi. Tapi ia menanamkan benih kepercayaan. Mungkin suatu hari. Saat aku benar-benar siap.
Refleksi Pribadi
Aku ingin menutup cerita ini dengan beberapa refleksi kecil, sebagai pengingat untuk diriku sendiri:
-
Kesempatan tidak selalu datang saat hidup sedang rapi.
-
Menunda bukan berarti takut, kadang itu bentuk tanggung jawab.
-
Berada di balik layar bisa sama berharganya dengan berdiri di depan.
-
Public speaking yang payah bukan alasan untuk berhenti mencoba.
-
Aku bisa berada di ruang yang lebih besar dari yang selama ini aku bayangkan.
Dan yang paling penting: proses tidak harus terlihat “wah” untuk bisa bermakna.
Menjadi assistant baker bukan tentang panggung atau pengakuan. Ia adalah tentang keberanian kecil, belajar diam-diam, dan percaya bahwa langkah pelan pun tetap membawa kita ke tempat yang lebih jauh.
Mungkin suatu hari nanti aku benar-benar akan punya kelas baking sendiri.
Mungkin juga belum dalam waktu dekat.
Tapi hari itu, aku tahu satu hal:
aku sedang berada di jalanku.
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)

.jpeg)
Tidak ada komentar