Review Buku: Anak Semua Bangsa


Nama Penulis : Pramoedya Ananta Toer 

Nama Penerbit : Lentera Dipantara

Tahun Terbit : 2005

Jumlah Halaman : 552

Sinopsis

    Kehadiran roman sejarah ini, bukan saja dimaksudkan untuk mengisi sebuah episode berbangsa yang berada di titik persalinan yang pelik dan menentukan, namun juga mengisi isu kesusasteraan yang sangat minim menggarap periode pelik ini. Karena itu hadirnya roman ini memberi bacaan alternatif kepada kita untuk melihat jalan dan gelombang sejarah secara lain dan dari sisinya yang berbeda. 

Tetralogiini dibagi dalam format empat buku. Pembagian ini bisa juga kita artikan sebagai pembelahan pergerakan yang hadir dalam beberapa periode.  

Roman kedua Tetralogi, Anak Semua Bangsa, adalah periode observasi atau turun kebawa mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupan arus bawah pribummi yang tak berdaya melawan kekuatan raksasa Eropa. Di titik ini Minke diperhadapkan antara kekaguman yang berlimpah-limpah pada peradaban Eropa dan kenyataan di selingkungan bangsanya yang kerdil. Sepotong perjalanannya ke Tulungan Sidoarjo dan pertemuannya dengan Khouw Ah Soe, seorang aktivis pergerakan Tionghoa, korespondensinya dengan keluarga Dela Croix (Sarah, Mariam, Herbert), teman Eropanya yang liberal, dan penuh petuah-petuah Nyai Ontosoroh , mertua sekaligus guru agungnya, kesadaran Minke tergugat, tergurah, dan tergugah, bahwa ia adalah bayi semua bangsa dari segala jaman yang harus menulis dalam bahasa bangasnya (Melayu) dan berbuah untuk manusia-manusia bangsanya.  


Review 

Perjalan hidup seorang pribumi bernama Minke pada abad ke-20. Minke yang menganggumi Eropa, harus menghadapi Hukum Eropa yang malah membuatnya kehilangan perempuan yang dicintainya, Annelies. (Kisah sebelumnya dalam buku Bumi Manusia)

Minke harus bangkit dikehidupan selanjutnya, belajar memaknai dan mengenali bangsanya sendiri. Melalui tulisan, Minke yakin dapat membuat perlawanan. Perjalanan itu tidaklah mulus, dihadapkan pada realita ternyata tidak sesuai harapan ternyata mengantarkannya pada kebenaran yang tak terduga sebelumnya. 

Bagian paling saya sukai terletak pada akhir buku ini. Seorang perempuan pribumi, Nyai Ontosoroh ternyata simbol perempuan modern yang telah lahir pada zaman itu. Nyai Ontosoroh dan Minke dibantu dengan orang sekitarnya mampu menghadapi Ir. Maurist Mellema dengan cara mereka sendiri. Perlawanan yang menurut saya menjadi bagian tak terduga sebelumnya. 

Buku ini punya daya tariknya sendiri, cerita yang dikemas sebagai roman telah menjadi abadi sepanjang zaman. Bukan hanya kisah cinta Minke dan Annelies, tapi ternyata cerita yang dihadirkan membawa kamu mengenal sejarah dan peradaban yang rupanya menjadi akar kehidupan hingga saat ini. 

Buku ini dapat dibaca semua umur, selain itu kamu jadi lebih bisa mengenali sejarah melalui buku ini. Tidak sabar untuk buku selanjutnya. . .


Tidak ada komentar